20 Juli 2012, saya dan Andy Zhang mengunjungi Candi Muaro Jambi. Sekarang Anda bisa mengunjungi candi candi yg letaknya berjauhan satu dengan lainnya dengan bersepeda. Hanya dengan 10ribu, Anda sudah bisa bersepeda sepuasnya.
Ada fasilitas terbaru di Candi Gumpung, gratis internet (hotspot) dari The SOMT (The Society Of MuaroJambi Temple).-yap-
CANDI MUARO JAMBI
TIDAK banyak yang tahu tentang keberadaan
Candi Muara Jambi. Entah karena literatur yang kurang lengkap, atau
minimnya penyebaran ilmu pengetahuan sejarah di negeri ini. “Bayangkan,
Candi Muara Jambi hampir dipastikan luput dari materi mata pelajaran
sejarah siswa sekolah dasar hingga mahasiswa yang kuliah di jurusan
Arkeologi,” kata Agus Widiatmoko, dosen Arkeolog di Universitas
Batanghari Jambi.
“Banyak pula masyarakat yang keliru melafalkan nama candi,” tambahnya sambil mengitari candi.
Kawasan Candi Muara Jambi terletak kurang lebih 40 kilometer dari Kota
Jambi atau sekitar 45 menit perjalanan dari pusat Kota Jambi. Candi
tepatnya berlokasi di Desa Muara Jambi, Kabupaten Muaro Jambi. Namun
karena luas bangunan yang mencapai 2.600 hektare, kawasan ini diapit
oleh tujuh desa penyangga.
Kompleks Candi Muara Jambi adalah peninggalan Kerajaan Melayu Kuno dan
satu-satunya peninggalan masa Hindu-Buddha di abad 7 hingga 13 Masehi.
Juga sekaligus kawasan percandian Buddha terluas di Indonesia.
Sumber tertulis dari Dinasti Tang di China menunjukkan perjalanan
seorang pendeta Buddha bernama I-Tsing pada 672 Masehi memaparkan
Swarnadwipa, sebutan Pulau emas bagi Sumatra, memiliki hubungan erat dan
tidak bisa dipisahkan dengan Nalanda, India, yaitu salah satu
Universitas Buddha tertua di dunia.
Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan kompleks Percandian Muara
Jambi, yang dikelilingi reruntuhan bangunan, parit, kanal–kanal, hingga
pemukiman masyarakat kuno yang membentang dari timur ke barat.
“Para ahli menafsirkan, kawasan ini sempat menjadi pusat ritual dan
kajian Buddhism selama kurang lebih 600 tahun lamanya,” papar Agus.
Kala itu, umat Buddha yang berasal dari berbagai negara, tidak hanya
mempelajari agama Buddha saja, melainkan mengenyam lima aspek
pembelajaran yang tergabung dalam Panca Widya, yakni ilmu arsitektur,
kesusastraan, filosofi Buddhisme, pengobatan, dan sosial budaya.
Menginjakkan kaki di areal percandian, mata langsung tertuju pada
hamparan rerumputan hijau. Tampak berdiri kokoh satu bangunan candi
lengkap dengan arca makara di pintu gerbang. Ada menapo atau reruntuhan
candi dan pagar atau gapura yang mengelilinginya. Candi yang memiliki
pelataran yang cukup luas tersebut bernama Candi Gumpung.
Total ada sekitar 82 reruntuhan bangunan kuno, delapan di antaranya
telah dipugar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi.
Tak banyak juga yang tahu Candi Muaro Jambi tidak seperti Candi
Borobudur di Jawa Tengah. Bahan baku material pembuatan candi ini
terbuat dari batu bata merah. Candi ini terbuka untuk umum, karena
dikembangkan sebagai aset pariwisata Provinsi Jambi. Namun fungsinya
tetap sebagai tempat ritual peribadatan agama Buddha.(Fani Moe)
Sumber : http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/05/07/90464/Luputnya-Candi-Muara-Jambi/11
Jalan-jalan ke Candi Muaro Jambi
OPINI | 25 May 2012 | 16:24 oleh : Juan Fransiska
Dibandingkan dua tahu lalu, saat ini ada yang berbeda dengan komplek
situs Percandian Muaro Jambi. Jika sebelumnya untuk menuju candi
pengunjung mesti berjalan kaki dari satu situs candi ke situs candi
lainnya melalui jalan setapak konblok. Jaraknya lumayan jauh, berada diantara kebun palawija dan ladang tanaman tua penduduk setempat. Tapi kali ini penggelola dan juga masyarakat Desa Muaro Jambi telah menyediakan sepeda yang bisa dirental sebagai sarana transportasi alternatif menuju kawasan situs candi. Sepeda-sepeda itu direntalkan dalam kisaran harga Rp.10.000 untuk sepeda tunggal dan Rp.20.000 untuk sepeda tandem.
Menurut informasi petugas disana, sepeda yang ada tidak melulu didominasi keluaran pabrikan Indonesia, tapi juga sepeda second hand pabrikan Jepang, Taiwan yang dibeli di Pasar Loak Kuala Tungkal. Malah kabarnya karena tertarik dengan kualitasnya seorang pelawak terkenal Indonesia sempat membeli sepeda second hand yang dipergunakannya mengitari situs Percandian Muaro Jambi beberapa waktu lalu. Sepeda itupun akhirnya dipaketkan ke Jakarta.
Tapi
sayang, ada beberapa hal yang sedikit menganggu pada saat mengitari
Komplek Situs Percandian Muaro Jambi. Dengan pengunjung yang padat
terutama pada saat liburan panjang seperti kemarin, lebar trek jalan konblok kurang memadai untuk dilewati dua
sepeda secara bersamaan. Terkadang beberapa pengendara terpaksa
berhenti sejenak atau malah ada diantaranya yang karena ragu atau kurang
mahir terpeleset keluar trek. Belum lagi ketika berpapasan dengan
pengunjung yang mengunakan sepeda motor. Menganggu sekali rasanya.
Belum lagi ada satu jembatan kayu yang membelah canal tua menuju
salah satu situs candi tidak memiliki pagar pembatas dikiri kanan
jembatannya. Begitu juga dengan kebersihan, terutama kurangnya kesadaran
pengunjung membuang sampah pada tempat yang telah disediakan. Seperti dikeluhkan salah seorang petugas yang bercerita pada saat kunjungan rombongan Presiden SBY beberapa waktu lalu : katanya salah satu pekerjaan rumah setiap kali pengunjung ramai itu adalah sampah yang berserakan.
Nada serupa juga disampaikan sebut saja Bapak Nasri
yang secara teratur selalu dikut sertakan dalam pemugaran situs
percandian Muaro Jambi. Dengan adanya rencana memasukan Situs Percandian
Muaro Jambi sebagai Warisan Dunia dalam naungan UNESCO, dia merasa
kwatir akan ada penggusuran terhadap pemukiman penduduk. Saya sendiri heran kenapa dengan tingginya intensitas interaksi si bapak dengan pelaku dan pemangku kepurbakalaan dan keparawisataan masih juga muncul
pemahaman dan kekwatiran seperti itu. Akhirnya dengan sedikit
pegetahuan yang ada sayapun berusaha memberikan pemahaman dengan harapan
dapat menampikkan kekwatiran itu. Bahwa antara Situs
Percandian dan keberadaan masyarakat lokal merupakan elemen penting
dalam keberlanjutan Situs Percandian Muaro Jambi. Sebagai satu bagian, keduanya tidak bisa dipisahkan atau dihilangkan satu dengan lainnya.
Coba bayangkan saja, apa jadinya situs
Percandian Muaro Jambi tanpa masyarakat ? Tanpa dukungan dan peran
serta masyarakat desa Muaro Jambi tak bisa dibayangkan apa yang akan
terjadi dengan situs dan juga keparawisataannya.
Situs-situs itu sendiri disakralkan dan dikeramatkan masyarakat
setempat. Tanpa adanya kearifan lokal masyarakat serupa itu, mungkin
sudah sejak lama situs Percandian Muaro Jambi akan dijarah dan
kehilangan nilai arkeologisnya.
Sedikit keluar kearah
muara sungai, melihat pemukiman penduduk yang terletak tak begitu jauh
dari situs percandian, pemukiman yang didominasi arsitektur panggung
khas Melayu Jambi itu menyuguhkan suasana baru bagi
pengunjung. Memanjang sepanjang Sungai Batanghari, dipisahkan oleh
jalan-jalan setapak yang belakangan telah di tembok semen.
Sumber : http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/05/25/jalan-jalan-ke-candi-muaro-jambi/
Masjid Seribu Tiang di Jambi
Selasa, 29 November 2011 - 10:30 wib wib
Mutya Hanifah - Okezone
masjid seribu tiang (Mutya Hanifah/okezone)
JAMBI - Berkunjung ke Kota Jambi, belum
lengkap kalau tidak singgah sejenak ke Masjid Agung Al-Falah. Masjid
yang lebih dikenal dengan nama Masjid Seribu Tiang ini diresmikan oleh
mantan Presiden Soeharto, pada 29 September 1980.
Masjid Seribu Tiang ini memiliki arsitektur yang unik, karena tidak memiliki dinding atau satu pintu pun. Melainkan ditopang oleh banyak tiang.
Namun, tiang-tiang ini tidak mencapai seribu, hanya memiliki 256 tiang. Struktur seperti ini dipilih agar angin dapat bebas masuk sehingga membuat suasana di masjid terasa sejuk.
Menurut sejarah, tanah tempat Masjid Seribu Tiang ini berdiri dahulunya merupakan istana tanah pilih dari Sultan Thaha. Kemudian, istana tersebut dibumihanguskan oleh Belanda karena Sultan Thaha membatalkan perjanjian dengan Belanda. Kemudian pada tahun 1906, lokasi masjid Agung Al-Falah ini dijadikan asrama tentara Belanda. Lalu, setelah masa kemerdekaan dijadikan sebagai asrama TNI Jambi.
Ketika memasuki bagian tengah masjid, begitu terasa kemegahannya. Dihiasi ukiran dan kaligrafi yang indah, dan delapan tiang penyangga di tengah-tengah masjid berwarna berbeda dari tiang-tiang di bagian lain, yaitu kuning keemasan dengan hiasan ukiran yang cantik. Terdapat pula kubah indah berukuran besar dengan warna beragam dan kaligrafi yang terbuat dari kaca.
Masjid ini memiliki luas bangunan 6.400 meter persegi, dan berdiri di atas tanah seluas 2,7 hektar.
Masjid Agung Al-Falah ini mampu menampung sekira 10 ribu jamaah, dan kerap dikunjungi ulama-ulama terkenal, salah satunya Almarhum KH Abdurrahman Wahid.
Sumber : http://travel.okezone.com/read/2011/11/28/408/535291/masjid-seribu-tiang-di-jambiMasjid Seribu Tiang ini memiliki arsitektur yang unik, karena tidak memiliki dinding atau satu pintu pun. Melainkan ditopang oleh banyak tiang.
Namun, tiang-tiang ini tidak mencapai seribu, hanya memiliki 256 tiang. Struktur seperti ini dipilih agar angin dapat bebas masuk sehingga membuat suasana di masjid terasa sejuk.
Menurut sejarah, tanah tempat Masjid Seribu Tiang ini berdiri dahulunya merupakan istana tanah pilih dari Sultan Thaha. Kemudian, istana tersebut dibumihanguskan oleh Belanda karena Sultan Thaha membatalkan perjanjian dengan Belanda. Kemudian pada tahun 1906, lokasi masjid Agung Al-Falah ini dijadikan asrama tentara Belanda. Lalu, setelah masa kemerdekaan dijadikan sebagai asrama TNI Jambi.
Ketika memasuki bagian tengah masjid, begitu terasa kemegahannya. Dihiasi ukiran dan kaligrafi yang indah, dan delapan tiang penyangga di tengah-tengah masjid berwarna berbeda dari tiang-tiang di bagian lain, yaitu kuning keemasan dengan hiasan ukiran yang cantik. Terdapat pula kubah indah berukuran besar dengan warna beragam dan kaligrafi yang terbuat dari kaca.
Masjid ini memiliki luas bangunan 6.400 meter persegi, dan berdiri di atas tanah seluas 2,7 hektar.
Masjid Agung Al-Falah ini mampu menampung sekira 10 ribu jamaah, dan kerap dikunjungi ulama-ulama terkenal, salah satunya Almarhum KH Abdurrahman Wahid.
Menikmati Sunset di Sungai Batanghari
Selasa, 29 November 2011 - 12:12 wib wib
Mutya Hanifah - Okezone
Pinggir Sungai Batanghari (Foto: Mutya Hanifah/okezone)
BERSANTAI setelah puas melihat-lihat museum
dan candi-candi di Kota Jambi paling tepat dilakukan di pinggir Sungai
Batanghari yang melintasi kota ini. Tempat bersantai ini dikenal dengan
nama Tanggo Rajo, kerap juga disebut sebagai "Ancol Jambi".
"Ancol Jambi" ini merupakan tempat duduk-duduk bersantai di pinggir Sungai Batanghari, yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera. Di pinggir sungai disediakan banyak kursi dan meja sehingga pengunjung dapat duduk santai sambil menikmati sajian jagung bakar dan es tebu. Pengunjung bisa sambil menunggu matahari terbenam alias sunset panorama Sungai Batanghari.
Kawasan yang terletak di depan rumah dinas Gubernur Jambi ini memiliki kisah sendiri. Menurut penduduk sekitar,, dulunya pada masa Melayu kuno tepatnya pada masa pemerintahan Raden Culip, di pinggir Sungai Batanghari ada sebuah bangunan peranginan bertingkat dua yang disebut Tanggo Rajo.
Tanggo Rajo ini digunakan oleh raja dan permaisuri serta dayang-dayangnya untuk bercengkerama di lantai atas sambil mengawasi pelabuhan dan memandang Sungai Batanghari beserta perahu-perahu yang melintas silih berganti. Diceritakan, bangunan Tanggo Rajo terbuat dari kayu bulian dan digapit rantai. Kursi raja di Tanggo Rajo didesain bisa berputar sesuai arah mata angin sehingga raja bisa memandang ke arah manapun.
Kini, Tanggo Rajo merupakan tempat yang ramai oleh pengunjung, terutama di sore hari. Pengunjung juga dapat menaiki kapal motor yang berseliweran untuk berkeliling sepanjang Sungai Batanghari sambil menikmati kehidupan penduduk Kota Jambi di pinggir Sungai Batanghari.
"Ancol Jambi" ini merupakan tempat duduk-duduk bersantai di pinggir Sungai Batanghari, yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera. Di pinggir sungai disediakan banyak kursi dan meja sehingga pengunjung dapat duduk santai sambil menikmati sajian jagung bakar dan es tebu. Pengunjung bisa sambil menunggu matahari terbenam alias sunset panorama Sungai Batanghari.
Kawasan yang terletak di depan rumah dinas Gubernur Jambi ini memiliki kisah sendiri. Menurut penduduk sekitar,, dulunya pada masa Melayu kuno tepatnya pada masa pemerintahan Raden Culip, di pinggir Sungai Batanghari ada sebuah bangunan peranginan bertingkat dua yang disebut Tanggo Rajo.
Tanggo Rajo ini digunakan oleh raja dan permaisuri serta dayang-dayangnya untuk bercengkerama di lantai atas sambil mengawasi pelabuhan dan memandang Sungai Batanghari beserta perahu-perahu yang melintas silih berganti. Diceritakan, bangunan Tanggo Rajo terbuat dari kayu bulian dan digapit rantai. Kursi raja di Tanggo Rajo didesain bisa berputar sesuai arah mata angin sehingga raja bisa memandang ke arah manapun.
Kini, Tanggo Rajo merupakan tempat yang ramai oleh pengunjung, terutama di sore hari. Pengunjung juga dapat menaiki kapal motor yang berseliweran untuk berkeliling sepanjang Sungai Batanghari sambil menikmati kehidupan penduduk Kota Jambi di pinggir Sungai Batanghari.
Sumber : http://travel.okezone.com/read/2011/11/28/408/535298/menikmati-sunset-di-sungai-batanghari
0 komentar:
Posting Komentar